Pengalaman merupakan salah satu guru yang paling berharga. Hanya pengalaman yang mampu bersaing dengan ilmu dalam tatanan pengetahuan intelektual. Itulah yang di alami oleh salah satu alumni SD Luqman Al-Hakim Surabaya. Sampai saat ini masih menjadi salah satu rujukan dalam pertukaran pelajar antara negara yaitu Indonesia dan Korea.
Tidak semua pelajar di Indonesia memiliki kesempatan yang berharga itu. Nida’ Fahima Amatullah adalah salah satu pelajar di Surabaya, mendapatkan kesempatan untuk bertukar fikiran dengan pelajar Korea.
Melalui ajang book forum yang diadakan di Korea dan diikuti oleh berbagai negara- negara, seperti Amerika, Rusia, Swedia, jepang, China dan beberapa negara di Asia lainnya.
Pengalaman itulah yang dimamfaatkan oleh gadis berkaca mata ini, bercengkrama, dan bersosialisasi dengan orang yang berbeda kultur tentu akan menambah pengetahuan, baik dibidang keilmuan, ataupun dibidang sosial bahkan bisa juga dibidang teknologi.
Selama sepuluh hari tinggal di Korea, tentu merasakan atmosfir yang berbeda dengan Indonesia. Study Time yang relatif singkat di Indonesia maka berbeda halnya dengan study time di Korea “Semua para pelajar disana memiliki motivasi yang tinggi, apalagi kalau menjelang ujian, ada yang belajar sampai subuh” cetus perempuan asli kelahiran Surabaya itu.
Kondisi Korea yang saat sangat terkenal dengan K-Popnya, juga mayoritas penduduknya yang beragama atheis tidak sedikitpun menyurutkan generasi mudanya untuk slalu mengenbangkan potensi diri, Bahkan Nida’ (sapaan akrabnya) menuturkan bahwa “ Mereka tidak mengenal status sosial dalam mendalami sebuah pengetahuan” sehingga, ketika pelajar dari negara lain, termasuk Indonesia ingin “sharing of knowledge tentang apa saja, mereka wellcome” lanjut siswa yang mengemari pelajaran metematika ini.
Perbedaan suasana atau kondisi sudah dirasakan ketika lulus dari SD Luqman Al-Hakim. Ketika di SMP Nida’ mengikuti program akselerasi, alhasil SMP dituntaskan dalam kurung waktu dua tahun dengan suasana yang serba minim dengan nuansa keagamaan. karena “nampaknya setiap siswa memahami agama hanya sekedar tahu saja, tidak ada dukungan secara langsung dari pihak sekolah” tutur penulis buku “`The World of Chocolate` ini.
Perubahan diri yang ingin dirasakan oleh setiap orang, yaitu berubah menjadi insan yang lebih baik (kamil). Hal serupa juga dirasakan oleh buah hati Dwi Agus Susilo dan Eva Puspita ini, karena sudah beranjak dewasa maka harus lebih selektif dalam pergaulan, apalagi sekarang sudah duduk disalah satu SMA Negri di Surabaya. Berbeda halnya ketika masih di Luqman Al-Hakim, selain kondisi lingkungan yang mendukung serta siswa juga diberi pemahaman tentang hijab sesama muslim.
Tidak semua pelajar di Indonesia memiliki kesempatan yang berharga itu. Nida’ Fahima Amatullah adalah salah satu pelajar di Surabaya, mendapatkan kesempatan untuk bertukar fikiran dengan pelajar Korea.
Melalui ajang book forum yang diadakan di Korea dan diikuti oleh berbagai negara- negara, seperti Amerika, Rusia, Swedia, jepang, China dan beberapa negara di Asia lainnya.
Pengalaman itulah yang dimamfaatkan oleh gadis berkaca mata ini, bercengkrama, dan bersosialisasi dengan orang yang berbeda kultur tentu akan menambah pengetahuan, baik dibidang keilmuan, ataupun dibidang sosial bahkan bisa juga dibidang teknologi.
Selama sepuluh hari tinggal di Korea, tentu merasakan atmosfir yang berbeda dengan Indonesia. Study Time yang relatif singkat di Indonesia maka berbeda halnya dengan study time di Korea “Semua para pelajar disana memiliki motivasi yang tinggi, apalagi kalau menjelang ujian, ada yang belajar sampai subuh” cetus perempuan asli kelahiran Surabaya itu.
Kondisi Korea yang saat sangat terkenal dengan K-Popnya, juga mayoritas penduduknya yang beragama atheis tidak sedikitpun menyurutkan generasi mudanya untuk slalu mengenbangkan potensi diri, Bahkan Nida’ (sapaan akrabnya) menuturkan bahwa “ Mereka tidak mengenal status sosial dalam mendalami sebuah pengetahuan” sehingga, ketika pelajar dari negara lain, termasuk Indonesia ingin “sharing of knowledge tentang apa saja, mereka wellcome” lanjut siswa yang mengemari pelajaran metematika ini.
Perbedaan suasana atau kondisi sudah dirasakan ketika lulus dari SD Luqman Al-Hakim. Ketika di SMP Nida’ mengikuti program akselerasi, alhasil SMP dituntaskan dalam kurung waktu dua tahun dengan suasana yang serba minim dengan nuansa keagamaan. karena “nampaknya setiap siswa memahami agama hanya sekedar tahu saja, tidak ada dukungan secara langsung dari pihak sekolah” tutur penulis buku “`The World of Chocolate` ini.
Perubahan diri yang ingin dirasakan oleh setiap orang, yaitu berubah menjadi insan yang lebih baik (kamil). Hal serupa juga dirasakan oleh buah hati Dwi Agus Susilo dan Eva Puspita ini, karena sudah beranjak dewasa maka harus lebih selektif dalam pergaulan, apalagi sekarang sudah duduk disalah satu SMA Negri di Surabaya. Berbeda halnya ketika masih di Luqman Al-Hakim, selain kondisi lingkungan yang mendukung serta siswa juga diberi pemahaman tentang hijab sesama muslim.
No comments: